today.line.com

Saya sempat heran dengan kejadian beberapa waktu lalu di institusi kesehatan tempat saya bekerja. Pada hari itu diinformasikan bahwa akan ada visiting pemeriksaan dari pihak pusat. Kunjungan mendadak (yang biasa) ini berfokus pada pemeriksaan hygiene, sistem, kedisiplinan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan pasien. Pemandangan yang menurut saya "aneh" bahwa terlihat informasi tentang kunjungan tersebut tidak begitu mempengaruhi aktivitas institusi di hari itu. Rutinitas kegiatan berjalan normal tanpa ada pemandangan extrim yg berbeda pada karyawan dan pimpinan, meskipun kunjungan tersebut akan menentukan reputasi dan kelanjutan institusi itu karena penilaian dilakukan secara menyeluruh, independen, objektif, dan tanpa koneksi. Saya sempat berpikir keadaan ini sangat jarang atau mungkin belum terjadi di negara kita. Dalam institusi pemerintahan, komunitas, organisasi atau swasta, hal yang berhubungan dengan kunjungan, pemeriksaan, perlombaan/penilaian atau sejenisnya pasti dipersiapkan dan ditanggapi dengan "serius". Dalam arti bahwa pasti terjadi kehawatiran yang besar, (mungkin) banyak manipulasi yang dipersiapkan, perubahan-perubahan extrim dan secara mendadak dilakukan, kebersihan dan kerapihan "dadakan", lembur dan persiapan lobi dimana-mana untuk supaya memperoleh hasil yang menyenangkan hati dan meninggikan reputasi. Tidak heran istilah "kunjungan" itu selalu menghasilkan pemandangan yang extrim berbeda dari biasanya. Indah, teratur dan bersih yang hanya satu hari saja dan setelah itu berlalu, semua kembali menjadi kacau.

Kesadaran dan kedisiplinan yang masih sangat kurang, kepentingan meng'kaya'kan diri yang masih sangat tinggi, ketidakpedulian dengan sistem yang baik untuk kemajuan negara mungkin masih menjadi akar mengapa negara kita 'mungkin' masih berjalan di tempat.

Kutipan cerita dan kesimpulan di atas adalah salah satu tulisan yang saya posting pada facebook saya tahun lalu. Satu hal yang saya ingin ambil dari cerita tadi yaitu kenyataan bahwa kualitas dan mental dalam birokrasi kita mungkin masih sangat rendah, manipulasi terjadi sana-sini hanya untuk nama baik dan popularitas sementara kualitas dan kepentingan umum diabaikan. Piala Adipura yang diagungkan salah pemerintah di salah satu kota yang katanya terbaik dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan terlihat hanya sebatas piala sehari saja. Kenyataannya sampah-sampah dan amburadul kota terlihat justru di pusat di mana orang banyak beraktivitas.

Tanggal 31 Desember 2017, hampir 2 tahun yang lalu seorang bapak pelayan di gereja membantu kami untuk mengambil gambar dalam ibadah perpisahan tahun yang kami hadiri di salah satu gereja di Stuttgart. Satu hal yang menyolok dari penampilan bapak tersebut, selain mengenakkan jas rapi, beliau mengenakkan anting pada salah satu bagian telinganya. Saya sempat terkejut dengan style seorang pelayan tersebut, dan menyadari bahwa penampilan tersebut tidak sama sekali memberikan pengaruh terhadap penilaian jemaat yang dipimpinnya. Sangat jelas bahwa penampilan bukanlah hal utama yang dinilai jemaat dibanding dengan dedikasi pelayanannya untuk jemaatnya. Di daerah kita mungkin, penampilan masih menjadi hal utama untuk menilai karakter/sifat seseorang, dan cenderung mengabaikan hal penting lain yang dimiliki orang tersebut. Akibatnya banyak orang yang berpenampilan sangat sopan, kalem dan aktif dalam ibadah tapi realitanya begitu senang bergosip, mencari jabatan di mana-mana, sering menipu dan suka menjatuhkan orang lain.

Banyak politisi yang hanya untuk mendapatkan simpati dari masyarakat tiba-tiba baik dan seolah-olah begitu peduli dengan nasib rakyat. Sebagian mencoba untuk menyebarkan narasi-narasi yang terdengar pro rakyat tapi sebenarnya mengandung ujaran kebencian dan kemunafikkan demi sebuah kursi jabatan. Agama yang seharusnya mengajarkan kebaikan justru ditunggangi untuk menjatuhkan orang lain. Pada endingnya saat terpilih mereka lupa dengan rakyat dan berfokus pada diri sendiri.

Dari segi sosial kita cenderung memperlihatkan kepedulian dan hubungan yang akrab dengan orang lain tapi sebenarnya hanya untuk sebuah popularitas dan penghargaan. Dalam diskusi dengan seorang profesor dari Eropa beberapa bulan yg lalu, beliau sempat bercerita tentang fenomena modern yang terjadi di kalangan muda (mungkin juga orang tua) yang dia temui di salah satu restoran di daerah Minahasa. Dia begitu terkejut melihat kelompok anak muda yang duduk semeja tapi begitu hening tanpa suara karena semua sibuk dengan Smartphone masing-masing. Mereka duduk bersama, tapi tidak ada kebersamaan yang tercipta, tanpa diskusi yang berarti. Semua sebatas kedekatan secara fisik tapi hati dan batin sebenarnya terpisah dengan kepentingan masing-masing. Kebersamaan hanya sebatas status dan foto tapi dibalik itu ada sisi individualisme yang mungkin secara tidak sadar dilakukuan tapi sangat menyolok terlihat.

Seperti pribahasa mengatakan dunia ini panggung sandiwara mungkin memberi arti bahwa sebenarnya manusia diberi kebebasan secara penuh untuk memilih melakukan apa yang dia inginkan. Dengan kebebasan ini memberi ruang penuh kita untuk menjadi orang baik atau bersandiwara dengan menjadi orang lain atau menjadi yang kita inginkan demi mencapai sesuatu. Contoh-contoh diatas mungkin di era modern ini terjadi di mana-mana bahkan mungkin saya atau sebagian dari kita saat ini sementara memainkan peran untuk mencapai keegoisan kita sendiri. Tapi kita selalu diberi kesempatan untuk mengubah diri kita.

Tidak perlu menjadi 'orang lain' untuk bisa diterima secara sosial. Banyak orang harus merelakan hal baik dan harus memanipulasi dirinya untuk bisa diakui eksistensinya secara sosial. Mereka merelakan nilai yang dipercayai dan mengubah gaya hidup yang baik. Terkadang kita lupa bahwa masing-masing kita adalah spesial dengan menjadi diri sendiri dan apa adanya.