emotion.de

Saat membaca satu buku yang berjudul Psychologie Heute (Psikologi hari ini) di mana ada satu bab yang membicarakan tentang ciri-ciri dan sisi negatif orang-orang perfeksionis, dan saat itu saya menyadari beberapa point yang betul-betul mengena pada kepribadian saya yang secara tidak sadar ternyata hampir setiap bidang ada dalam keseharian saya. Lagi-lagi isi tulisan ini sebenarnya mengarah pada diri sendiri yang sampai saat ini masih berjuang melawan sisi perfectionistis yang kadang-kadang muncul dan mengganggu hari-hari di sini. 

Ada hari di mana saya bangun pagi dengan keadaan kurang bersemangat karena ketidakdamaian hati dengan kesalahan di hari sebelumnya. Ada hari di mana saya pulang rumah dengan perasaan bersalah atau rasa tidak puas terhadap pencapaian hari itu. “Kenapa saya tidak bisa begini…, kenapa saya tidak mencapai ini itu…, kenapa ini gagal….” Kadang efeknya pikiran negatif itu berlangsung selama berhari-hari sampai mengganggu aktivitas lain.

Di Jerman skala nilai dalam dunia pendidikan itu menggunakan Note (nilai) 1-6 (1=sempurna, 6= buruk/tidak lulus). Dalam banyak ujian, entah itu tulisan, lisan, atau praktek, saya hampir selalu berharap Note 1. Sampai ada waktu saya dapat note 1,5 (yang sebenarnya dikategorikan sangat baik) kadang-kadang saya merasa kurang puas. “Kenapa bukan 1?”. Sangat tidak baik, saat banyak orang merasa puas dengan nilai 2 dan justru ada yang merasa menyesal dengan 1,5. Dan pada moment ini saya begitu menyadari sisi perfeksionsime itu sangat jelas dalam diri saya.

Kenyataannya memang banyak orang menjadi stress karena tidak puas dan tidak menerima saat satu hal kecil gagal dia capai. Tanpa disadari kita menetapkan standar tinggi terhadap diri sendiri dan lingkungan kita. Kita kehilangan rasa toleran terhadap kecacatan, minus, kekurangan, ketidaksempurnaan, yang sebenarnya merupakan sisi alami manusia itu sendiri. Banyak orang cenderung menetapkan standar kesempurnaan itu untuk supaya mereka diterima dan diakui oleh lingkungan. Mereka takut ditolak atau disisikan saat mereka tidak menjadi yang terbaik, saat mereka melakukan kesalahan. Secara tidak sadar kesalahan kecil itu seolah-olah merusak atau menutupi seribu kebaikan.
ravishly.com

Salah satu yang saya amati dari sebagian besar orang-orang di Jerman yaitu pola hidup yang cenderung menuntut kesempurnaan di mana segala sesuatu harus dijadwalkan dengan baik, direncanakan dengan matang, dalam hal pekerjaan dan mungkin sampai ke hal-hal kecil harus exakt dan teliti. Efek negatifnya mereka cepat atau dengan mudah merasa stress dan merasa terganggu disaat sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana dan standar mereka.

Mungkin dalam pelayanan jasa, aktivitas bisnis jual beli, pelayanan kesehatan memang dibutuhkan pelayanan yang sempurna. Konsentrasi dan ketelitian dalam bidang kesehatan contohnya adalah A n O (sangat penting). Dalam bidang lain seharusnya ini tidak berlaku.

Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk dalam hal hubungan keluarga, sosial, pekerjaan dan  pencapaian lainnya. Berusaha melakukan yang terbaik dalam semua bidang kehidupan sangat penting tapi dengan tidak menetapkan standar kesempurnaan. Akan ada waktu mungkin kita lalai, lupa, keliru, kurang bersemangat. Dan itu sangat normal. Menyesali dan bangkit lagi dengan semangat untuk belajar dan memperbaiki, itulah cara terbaik untuk tetap sempurna melewati ketidaksempurnaan. Kita harus mampu memberi toleransi untuk kekurangan kita tetapi juga kekurangan orang lain. Tidak harus menjadi perfekt, tanpa kesalahan, selalu teratur untuk bisa diterima dan diakui orang lain. Setiap dari kita spesial tanpa harus menjadi perfekt karena kesempuraan itu hanya milik Tuhan kita.