youtube.com
Sebagian besar di antara kita mungkin sudah pernah mendengar cerita dibalik istilah narsisme ini.  Sebuah mitos Yunani Narkissos yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis.
Narsistik didefinisikan sebagai perilaku mencintai diri sendiri yang berlebihan. Penderita narsistik percaya bahwa diri mereka lebih unggul dari pada orang lain. Orang-orang yang memiliki sifat narsistik ini sebenarnya memiliki krisis kepercayaan diri.
 
psychscentral.com
Salah satu pola didikan yang sering saya lihat pada orang tua di Jerman yaitu “memuji”. Orang tua tidak segan memberikan pujian pada anak saat anak melakukan sesuatu yang baik atau menunjukkan kemajuan. Entah itu hal yang sangat kecil, pujian itu selalu diberikan. Selain untuk memberi semangat kepada anak untuk terus melakukan hal baik itu, juga sebenarnya menumbuhkan kepercayaan diri anak. Anak akan belajar mengenal kemampuannya, memperkenalkan nilai dirinya sendiri, merasa percaya diri melakukan hal yang benar dan semangat untuk mengembangkannya.
Mungkin ini salah satu alasan kenapa sebagian besar orang di negara barat terlihat cenderung memiliki percaya diri yang tinggi dibandingkan dengan negara kita.

Permasalahan yang mungkin sering kita alami yaitu banyak orang memiliki rasa percaya diri yang rendah, akibatnya mereka tidak berani melakukan perubahan dan kemajuan yang besar, atau sebagian memiliki kepercayaan diri yang terlampau berlebihan. Banyak juga orang yang terlampau tinggi mencintai diri yang berakibat pada sifat merasa diri mereka lebih unggul, kurang memperhatikan perasaan orang lain, meninggikan diri di depan orang lain, cenderung protektif untuk diri sendiri dan segala sesuatu berfokus pada diri sendiri. Namun di balik itu semua sebenarnya orang-orang narsis sebenarnya memiliki harga diri yang rapuh dan rentan terhadap kritik.
dreamstime.com
Memiliki percaya diri dengan kadar normal adalah ideal untuk bisa bertahan hidup secara sosial dan berkembang dalam banyak hal. Kebanyakan orang yang memiliki krisis kepercayaan diri cenderung memperlihatkan sifat ingin lebih dominan dalam banyak hal. Di media sosial misalnya, orang-orang terlalu sering memposting foto-foto selfie secara berlebihan, menonjolkan sesuatu yang ia miliki demi mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Beda halnya ketika kita memposting sesuatu hanya untuk maksud kesenangan semata dan masih dalam batas normal. 
yllpress.com
toyay.com
Ada orang yang berusaha berpenampilan modern, mengikuti trend, mewah demi mendapatkan perhatian dan jaringan yang luas dengan orang-orang yang berstatus sosial tinggi. Kita juga terkadang memaksakan diri untuk menjadi “orang lain” dalam hal ini keluar dari karakter alami kita demi untuk diterima di lingkungan kita. Ada juga orang yang begitu senang menceritakan semua pencapaiannya dan menyudutkan orang lain demi membuat dirinya menonjol. Semua contoh tadi adalah gambaran dari orang-orang yang memiliki krisis kepercayaan diri. Hal yang menyolok dari model ini yaitu pandangan kita bahwa pengakuan lingkungan terhadap diri kita baik buruknya menentukan eksistensi diri kita. Tidak perduli maksud dan niat baik kita, selama kita tidak terlihat baik dan menarik maka kita tidak akan dipandang di lingkungan kita. Itu mungkin motivasi orang-orang yang berusaha dengan berbagai cara untuk bisa mendapatkan penghargaan untuk dirinya.

Sebenarnya setiap hal positif dan motivasi positif yang kita buat tanpa harus memikirkan penilaian orang lain adalah bagian dari kita mengafirmasi kepercayaan diri kita. Untuk menjadi berharga, kita tidak perlu mengubah diri kita sesuai dengan keinginan orang lain. Kita adalah special dengan semua kekurangan dan kelebihan kita. Nilai diri kita ditunjukkan pada saat kita boleh memberi pengaruh positif terhadap lingkungan kita. Sekecil apapun itu, hal baik akan selalu meninggalkan pesan yang bisa mengubah lingkungan dan orang lain.

By Esther Lumintang